Pada saat penyerbuan oleh Jayakatwang dari Glang-glang, Bhayangkara tidak dapat mempertahankan istana, karena kalah kekuatan. Ini merupakan blunder dari Kertanegara. Keamanan dalam negeri yang seharusnya berada di wilayah Bhayangkara, saat itu terpecah, karena sebagian pasukan Bhayangkara juga dikirim ke Pamalayu. Kutaraja hancur dan Kertanegara tewas. Pasukan Bhayangkara yang tersisa dibubarkan. Dyah Wijaya (Raden Wijaya) yang menantu Kertanegara diampuni oleh jayakatwang dan diberi sebidang tanah di daerah Tarik. Mantan Bhayangkara yang loyal kepada Wijaya ikut pindah ke Tarik.
Mendengar Singhasari hancur, kerajaan Vassal di Sumatera menjadi lemah. Tak heran armada Mongol dengan mudahnya masuk ke Nusantara. Bahkan beberapa kerajaan kecil di Sumatra mengirim utusan tanda takluk. Sejarah mencatat Mongol akhirnya dapat diusir oleh Wijaya, melalui taktik yang brilian. Tentunya tak lepas dari peran besar para mantan Bhayangkara. Pasukan Pamalayu (termasuk kesatuan Bhayangkara) baru sampai ke Jawa sepuluh hari setelah Mongol kalah. Saat menjadi raja Majapahit, Raden Wijaya menghidupkan kembali kesatuan ini.
Sedikitnya catatan sejarah mengenai Bhayangkara pada masa Singasari menjadikan Bhayangkara pada masa Majapahit lebih tersohor, bukan saja karena peranan Gadjah Mada yang menjadi tampuk pimpinan pasukan, tapi juga karena Bhayangkara pada Masa Majapahit tertuang dengan jelas dalam literatur-literatur kuno, seperti Negara Kertagama dan Pararaton. Sosok Gajah Mada merupakan simbol Kepolisian RI dan sebagai penghormatan, Polri membangun patung Gajah Mada di depan Kantor Mabes Polri dan nama Bhayangkara dijadikan sebagai nama pasukan Kepolisian. (bersambung)