menu melayang

19 Desember 2016

Istana-Istana Kerajaan Yang Masih AdaDi Pulau Kalimantan

Indonesia terkenal dengan sebutan bangsa yang memiliki ribuan suku, bahasa dan terdiri dari ribuan kerajaan yang hingga saat ini masih berdiri megah. Kemegahan kerajaan tersebut dapat kita lihat mulai dari pulau Sumatra, Jaw, Madura, kalimantan, Bali, NTT, NTB dan Sulwesi serta pulau-pulau lainnya. Berikut kita simak istana kerajaan di Pulau Kalimantan
1. Istana Alwatzikoebillah, Sambas, Kalimantan Barat

Bangunan ini merupakan istana Kesultanan Sambas yang menjadi pusat pemerintahan di Sambas hingga berakhirnya kekuasaan kesultanan. Sebelumnya, Sambas merupakan Kerajaan Hindu yang di kemudian hari berubah menjadi Kerajaan Islam. Raden Sulaiman merupakan Sultan Sambas pertama.

Setelah berhasil membangun Kota Bangun yang bahkan lebih maju dari Kota Lama, Raden Sulaiman memutuskan pindah ke Lubuk Madung yang merupakan lokasi pertemuan tiga sungai, yaitu Sungai Subah, Sungai Sambas Kecil, dan Sungai Teberau. Di lokasi inilah didirikan Istana Kesultanan yang hingga sekarang dikenal dengan nama Istana Alwatzikoebillah.

Namun, istana yang terlihat sekarang ini baru dibangun pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Mulia Ibrahim Syafiuddin, sultan ke-15 Kesultanan Sambas. Pembangunan istana tersebut relatif singkat, yaitu dari tahun 1933 sampai tahun 1935. Konon, biayanya yang mencapai 65.000 gulden itu merupakan pinjaman dari Kesultanan Kutai Kartanegara.


2. Istana Amantubillah, Mempawah, Kalimantan Barat

Istana Amantubillah merupakan nama istana dari Kerajaan Mempawah. Nama Amantubillah berasal dari bahasa Arab, yang berarti “Aku beriman kepada Allah”. Berdasarkan catatan sejarah, istana ini dibangun pada masa pemerintahan Gusti Jamiril pada tahun 1761 setelah beliau dinobatkan menjadi raja di Kerajaan Mempawah untuk menggantikan ayahandanya yang bernama Upu Alinu Malinu Daeng Menambon yang bergelar Pangeran Mas Surya Negara. Saat Gusti Jamiril diangkat menjadi Raja Mempawah, beliau menyandang gelar sebagai Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya yang berkuasa atas seluruh rakyat yang berada di daerah Kerajaan Mempawah.

Belum lama dinobatkan menjadi Raja Mempawah, atas nasihat Mufti Kerajaan, Tuan Besar Habib Husain Alkadri, beliau memindahkan pusat pemerintahannya dari Sebukit Rama ke dekat Kampung Galahirang, di lokasi Sang Mufti bertempat tinggal. Di situlah istana pertama dari Panembahan Adiwijaya Kesuma Jaya berdiri tegak.

Pada tahun 1880, Istana Amantubillah mengalami kebakaran ketika tampuk kekuasaan istana dipegang oleh Gusti Ibrahim yang bergelar Panembahan Ibrahim Mohammad Syafiuddin. Setelah itu, Istana Amantubillah direhabilitasi beberapa kali hingga dapat berdiri kembali pada hari Kamis, 22 November 1922 pada masa Panembahan Mohammad Taufik Akkamadin.

Kompleks Istana Amantubillah dibagi dalam tiga bagian, yaitu bangunan utama, bangunan sayap kanan, dan sayap kiri. Pada zaman dahulu, bagunan utama merupakan tempat singgasana raja, permaisuri, dan tempat tinggal keluarga raja. Bangunan sayap kanan adalah tempat untuk mempersiapkan keperluan dan tempat untuk jamuan makan keluarga istana. Sedangkan bangunan sayap kiri merupakan aula dan tempat untuk mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan.


3. Keraton Ismahayana, Landak, Kalimantan Barat

Keraton milik Kerajaan Ismahayana Landak ini dibangun pada masa pemerintahan raja ke-7, yakni Abhiseka Ratu Brawijaya Angkawijaya (Ratu Sang Nata Pulang Pali VII). Beliau merupakan raja terakhir di pusat kerajaan Ningrat Batur. Sepeninggal beliau, sang putra mahkota yang kemudian naik tahta dan bergelar Pangeran Ismahayana ini memindahkan pusat kerajaan ke Mungguk Ayu. Pangeran Ismahayana kemudian memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahar.

Kompleks istana ini mencakup Istana Landak (Istana Ilir), kediaman permaisuri (Istana Ulu) serta kediaman Neang Raja (Rumah Sultan). Istana ini mulai dipugar dan direnovasi kembali sekitar tahun 1950-an dan 1960-an setelah peristiwa kebakaran yang mengakibatkan kerusakan pada beberapa bagian istana. Perbaikan bangunan ini juga telah beberapa kali dilakukan oleh pemerintah daerah. Kondisi kompleks keratin saat ini merupakan hasil renovasi sekitar tahun 2000-an.

4. Istana Kadriyah, Pontianak, Kalimantan Barat
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Kesultanan Kadriyah Pontianak adalah sebuah kesultanan Melayu yang didirikan pada tahun 1771 oleh Sultan Syarif Abdurrahman Alkadrie., keturunan Rasulullah dari Imam Ali ar-Ridha di daerah muara Sungai Kapuas. Ia melakukan dua pernikahan politik di Kalimantan, pertama dengan putri dari Kerajaan Mempawah dan kedua dengan putri dari Kesultanan Banjar (Ratu Syarif Abdul Rahman, putri dari Sultan Tamjidillah I). Setelah mereka mendapatkan tempat di Pontianak, kemudian mendirikan Istana Kadriyah dan mendapatkan pengesahan sebagai Sultan Pontianak dari Belanda pada tahun 1779.

Masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad (Sultan VI) merupakan masa pemerintahan terpanjang dalam sejarah Kesultanan Pontianak. Ia sangat berperan dalam mendorong terjadinya pembaruan dan moderenisasi di Pontianak. Dalam bidang sosial dan kebudayaan, dia adalah sultan Melayu di Kalimantan Barat yang pertama kali berpakaian kebesaran Eropa di samping pakaian Melayu, sebagai pakaian resmi. Dia juga orang yang menyokong majunya bidang pendidikan serta kesehatan. Selain itu, ia juga mendorong masuknya modal swasta Eropa dan Cina, serta mendukung bangsa Melayu dan Cina mengembangkan perkebunan karet, kelapa, dan kopra serta industri minyak kelapa di Pontianak. Sementara dalam aspek politik, Sultan memfasilitasi berdiri dan berkembangnya organisasi-organisasi politik, baik yang dilakukan oleh kerabat kesultanan maupun tokoh-tokoh masyarakat.

Era kekuasaan Sultan Syarif Muhammad redup seketika seiring kedatangan bala tentara Kekaisaran Jepang ke Pontianak pada tahun 1942. Pada tanggal 24 Januari 1944, karena dianggap memberontak dan bersekutu dengan Belanda, Jepang menghancurkan Kesultanan Pontianak dan beberapa kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat. Tragedi berdarah ini kemudian dikenal dengan sebutan Peristiwa Mandor. Pembunuhan Sultan Syarif Muhammad dan tindakan semena-mena Jepang inilah yang menjadi faktor utama terjadinya Perang Dayak Desa.

Setelah peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, atas prakarsa Sultan Hamid II (Sultan VII) inilah, Kesultanan Pontianak dan kesultanan-kesultanan Melayu di Kalimantan Barat bergabung dengan Republik Indonesia Serikat. Pada masa itu, Sultan Hamid II menjabat sebagai Presiden Negara Kalimantan Barat (Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat) pada 1947-1950.

5. Istana Kubu, Kubu Raya, Kalimantan Barat
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, pernah berdiri sebuah Kerajaan bernama Kubu, yang terbukti hingga saat ini dengan adanya makam seorang pendirinya, Syarif Idrus bin Abdurrahman Al-Idrus yang menjadi raja kesultanan pada waktu itu.

Awal mula tempat ini disebut dengan nama Kubu dan kemudian menjadi Kesultanan Kubu karena benteng pertahanan yang dibangun oleh para pengikut setia Syarif Idrus terbukti kuat. Kendati telah berkali-kali mendapat serangan dari musuh, tapi benteng pertahanan ini masih cukup ampuh menahannya. Kedigdayaan benteng tersebut justru membuat penduduk Kubu menjadi lengah. Mereka terlanjur sangat meyakini bahwa benteng perkampungan mereka tidak dapat ditembus oleh musuh yang sekuat apapun. Mereka tidak memperhitungkan lagi bahwa musuh tetap mencari akal untuk menerobos benteng hinggapada suatu ketika, terjadilah serbuan mendadak dari orang-orang Siak. Karena dalam kondisi yang tidak siap, pihak Kubu menjadi kocar-kacir karena serangan itu.

Saat serbuan itu terjadi, Syarif Idrus yang sedang menunaikan ibadah shalat akhirnya tewas terbunuh. Atas kejadian tersebut, penduduk Kubu dan keturunannya bersumpah tidak akan menjalin kekerabatan, termasuk menikah dan dinikahi, dengan dan oleh orang Siak beserta anak-cucunya.

Setelah era penjajahan Belanda dan Jepang berakhir, wilayah Kesultanan Kubu dijadikan sebagai wilayah Self Bestuur (kurang lebih setara dengan daerah otonomi) sejak tahun 1949-1958. Pada tahun 1958 itulah riwayat Kesultanan Kubu berakhir dan menggabungkan diri sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kota Kubu kemudian menjadi ibukota Kecamatan Kubu, Kabupaten Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat.

6. Istana Paku Negara, Tayan, Kalimantan Barat
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Istana Kerajaan Tayan ini dibangun oleh Gusti Jamal. Sampai saat ini bangunan bersejarah ini masih dalam kondisi aslinya dan terawat dengan cukup baik. Beberapa benda bersejarah yang terdapat di dalamnya antara lain meriam, keris, busana kerajaan dan sajadah sembahyang raja. Istana ini dapat ditemui di Tayan, 70 kilometer dari kota Sanggau, berlokasi dekat dengan sungai Kapuas.

Adapun Kerajaan Tayan didirikan oleh Gusti Lekar, anak kedua dari Panembahan Dikiri (Raja Matan). Anak Panembahan Dikiri yang pertama adalah Duli Maulana Sultan Muhammad Syarifuidin yang menggantikan ayahnya menjadi Raja Matan. Sultan Muhammad Syarifudin adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam oleh tuan Syech Syamsuddin dan mendapat hadiah dari Raja Mekah berupa sebuah Qur’an kecil dan sebentuk cincin bermata jamrut merah.


7. Istana Surya Negara, Sanggau, Kalimantan Barat
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Dari catatan sejarah, Kerajaan Sanggau didirikan oleh Daradante, pendatang dari Ketapang yang menikah dengan Babai Cingak dari suku Dayak Sanggau. Pusat pemerintahan berada di Desa Mengkiang (ke arah hulu sungai Sekayam). Kemudian pada tahun 1826 Sultan Ayub sebagai panembahan kala itu, memindahkan pusat kerajaan Sanggau ke Desa Kantuk. Keraton Surya Negara menjadi saksi bisu kebesaran masyarakat Sanggau kala itu.


8. Istana Al Mukarrammah, Sintang, Kalimantan Barat
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Asal-usul Kerajaan Sintang bermula dari kedatangan seorang tokoh penyebar agama Hindu bernama Aji Melayu yang datang ke Nanga Sepauk (Sekarang Kecamatan Sepauk) pada abad ke-4. Bukti-bukti kedatangan Aji Melayu dapat dilihat dari temuan arkeologis berupa Arca Putung Kempat dan batu berbentuk phallus yang oleh masyarakat setempat disebut Batu Kelebut Aji Melayu. Putung Kempat adalah istri Aji Melayu yang kemudian menurunkan raja-raja di Sintang. Di daerah ini juga ditemukan batu yang menyerupai lembu serta makam Aji Melayu.

Pendirian Kerajaan Sintang dilakukan Demong Irawan, keturunan kesembilan Aji Melayu, pada sekitar abad ke-13. Demong Irawan mendirikan keraton di daerah pertemuan Sungai Melawi dan Sungai Kapuas yaitu di Kampung Kapuas Kiri Hilir sekarang. Mulanya daerah ini diberi nama Senentang, yaitu kerajaan yang diapit oleh beberapa sungai. Lambat laun penyebutan Senentang berubah menjadi Sintang. Sebagai lambang berdirinya kerajaan itu, Demong Irawan yang memakai gelar Jubair Irawan I menanam sebuah batu yang menyerupai buah kundur. Batu itu kini berada di halaman Istana Sintang.


9. Istana Muliakarta, Ketapang, Kalimantan Barat
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Istana ini merupakan istana Kesultanan Matan Tanjungpura, kesultanan tertua yang terdapat di provinsi Kalimantan Barat. Istana ini juga dikenal dengan nama Istana Panembahan Gusti Muhammad Saunan, yang diambil dari nama salah seorang sultannya yang terkenal dengan kewibawaan dan kecerdasannya.

Istana Muliakarta pertama kali dibangun oleh Pangeran Perdana Menteri yang bergelar Haji Muhammad Sabran, sultan ke-14 kesultanan ini. Istana tersebut mengalami perombakan secara besar-besaran pada era pemerintahan sultan ke-16, yakni Gusti Muhammad Saunan. Beliau mengganti arsitektur istana dengan gaya arsitektur Eropa karena beliau pernah studi di Belanda dan tinggal cukup lama di negeri kincir angin tersebut.

Keanggunan istana yang mayoritas konstruksi bangunannya terbuat dari kayu ulin ini sudah dapat dilihat dan dirasakan dari jauh. Warna kuning yang merupakan lambang kewibawaan dan keluhuran budi pekerti dalam budaya Melayu, amat mendominasi dalam bangunan ini. Gapura yang artistik dan cantik dengan dominasi warna kuning mencerminkan simbol keramahan segenap penghuni istana dan menandakan bahwa istana tersebut terbuka bagi semua kalangan.


10. Istana Kuning, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Menurut catatan sejarah, Pangeran Adipatih Anta Kusuma yang mendirikan satu-satunya Kerajaan di Kalimantan Tengah ini, dan sekaligus menjadi Raja Pertama di Kesultanan Kutaringin. Pangeran ini merupakan anak ke-empat dari Raja Banjar. Pendirian kerajaan ini berdasarkan perundingan dengan ayahnya untuk menghindari perebutan tahta dengan kakak tertua beliau yang menjadi ahli waris Kesultanan Banjar.

Sang pangeran pun memutuskan pergi untuk mendirikan kerajaan baru di daerah tengah Kalimantan. Ketika berkelana di hutan bersama dengan prajuritnya, sang Pangeran terkejut saat melihat puluhan pohon beringin besar yang tertata sangat rapih di pedalaman hutan, dan akhirnya menjadi inspirasi nama kesultanannya, yang berasal dari dua kata yaitu kuta (pagar) dan ringin (beringin).

Pada saat kekuasaan Pangeran Ratu Imannudin, raja ke-sembilan kesultanan ini, pusat kerajaan diputuskan untuk dipindahkan ke daerah baru, karena daerah baru tersebut memiliki letak yang lebih strategis dan aman bagi sebuah kerajaan.

Istana Kerajaan baru Kesultanan Kutaringin diberi nama dengan Istana Kuning. Istana Kuning terdiri dari empat bangunan yaitu: Bangsal (tempat penerimaan tamu kerajaan), Rumbang (tempat raja bersemedi), Dalem Kuning (pusat pemerintahan, dan tempat tinggal raja), dan Pedahiran (ruang makan kerajaan).

Namun naas, pada tahun 1986 istana yang terkenal dengan pintu kerajaan berwarna kuning itu di bakar oleh seorang wanita gila bernama Draya dan tidak meninggalkan satu barang pun.


11. Istana Sadurangas, Paser, Kalimantan Timur

Kerajaan Paser Belengkong dulunya bernama kerajaan “Sadurangas”. Adapun asal-usul keturunan raja-raja Pasir ialah Kuripan (Amuntai sekarang), yang menurut ceritanya pada pertengahan abad ke XVI (kira-kira dalam tahun 1565) di daerah Kuripan ini mengalami pergolakan di kalangan pemerintahannya sendiri.

Kira-kira pada pertengahan tahun 1575 Masehi, Putri Betung diangkat dan diakui oleh penduduk sekitar sebagai raja pertama di Sadurangas (Pasir). Setelah Putri Betung dewasa, Ia dikimpoikan dengan seorang raja dari tanah Jawa (Giri), bernama Pangeran Indera Jaya, yang datang dengan kapal layar yang membawa sebuah batu. Setelah perkimpoian itu, maka batu yang dibawanya dari Jawa (Giri) lalu dibongkarnya, sehingga sampai sekarang batu tersebut masih tersimpan di Kampung Pasir (Benua) yang lebih dikenal oleh penduduk sekitar dengan sebutan “Batu Indera Giri” dan dikeramatkan orang. Yang menurunkan silsilah raja-raja Pasir hingga saat ini adalah cucu Putri Benung yang bernama Adjie Anum.

Istana Kerajaan Paser Belengkong ini dibangun pada abad 18 oleh Sultan Ibrahim Khalilludin.


12. Kedaton Kutai Kartanegara, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur

Istana milik Sultan Kutai Kartanegara ini terletak di pusat kota Tenggarong, Kalimantan Timur. Istana ini selesai dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2002 setelah dihidupkannya kembali Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Meski telah resmi menjadi milik Sultan Kutai Kartanegara, istana baru ini lebih difungsikan sebagai kantor lembaga kesultanan serta sebagai tempat pelaksanaan acara seremonial oleh Sultan atau Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Arsitektur Kedaton Kutai Kartanegara merupakan perpaduan gaya modern dan gaya istana Kerajaan Kutai Kartanegara. Bentuk kedaton baru ini mengacu pada bentuk Keraton Kutai pada masa pemerintahan Sultan Alimuddin. Ruangan istana nampak megah dan mewah dengan tatanan Singgasana Sultan yang dikelilingi oleh kursi yang terbuat dari emas. Di sebelah kiri singgasana terdapat Gamelan Jawa. Di dalam Kedaton juga terdapat banyak ukiran yang berciri khas adat Kutai, Dayak dan Jawa untuk menunjukkan bahwa Kerajaan ini memiliki hubungan sejarah yang erat dengan suku Dayak dan kesultanan di Jawa.


13. Istana Gunung Tabur, Berau, Kalimantan Timur
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Pada awal abad 19, dua anak Sultan Berau, Sultan Muh. Zaenal Abidin, yakni Alimunddin Raja Alam dan Muh. Badaruddin bertikai memperebutkan tahta.

Kesempatan ini dipakai oleh Belanda untuk memecah Kerajaan Berau menjadi dua, yaitu Kerajaan Gunung Tabur yang dipimpin oleh Sultan Muh Badaruddin, dan Kerajaan Sambaliung yang dipimpin oleh Sultan Alimuddin Raja Alam. Wilayah kedua kerajaan ini dipisahkan oleh Sungai Segah. Sementara istana keduanya tepat saling berhadapan.

Campur tangan Belanda pada kerajaan Gunung Tabur ini sangat tinggi. Terbukti dari lambang kerajaannya sangat dipengaruhi oleh gaya Eropa. Entah mengapa Kerajaan Gunung Tabur memilih dua macan sebagai simbol kerajaan, sedangkan di Kalimantan tidak ada harimau. Bukan hanya lambang kerajaan, namun kostum Sultan, pedang yang disandang dan meriam-meriam menunjukkan betapa Belanda berpengaruh sangat besar kepada Kerajaan Gunung Tabur. Hal ini bisa dimengerti karena wilayah Berau banyak menghasilkan batubara yang dibutuhkan Belanda untuk menjalankan kapal-kapalnya.

Istana Kerajaan Gunung Tabur yang ada saat ini bukan bangunan asli lagi karena pada zaman pendudukan Jepang, istana asli telah hancur dibom oleh Sekutu. Pembangunan ulang yang benar- benar mempertahankan arsitektur dan bahan-bahan seperti istana aslinya juga mengubah fungsi istana menjadi sebuah museum yang diberi nama Museum Batiwakkal.

Adapun koleksi-koleksi yang berjumlah lebih dari 700 buah yang terdapat dalam museum ini berasal dari dua putri Sultan terakhir Kerajaan Gunung Tabur. Mengingat bahwa mereka tidak menikah, maka keduanya menyerahkan semua koleksi benda-benda kerajaan kepada pemerintah. Sebagai imbalan, pemerintah memberangkatkan mereka berdua untuk berhaji dan memberikan pensiunan berupa biaya hidup. Sampai saat ini kedua putri tersebut tinggal di rumah megah yang dibangun persis di sebelah museum.


14. Istana Sambaliung, Berau, Kalimantan Timur
Istana - Istana Kerajaan di Indonesia yang Masih Ada
Keraton Sambaliung atau Istana Sambaliung di kabupaten Berau provinsi Kalimantan Timur adalah salah satu bukti sejarah adanya kesultanan Sambaliung. Sepeninggal Sultan Sambaliung ke-8, yakni Sultan Muhammad Aminuddin pada tahun 1959, istana Sambaliung kemudian dialihfungsikan menjadi museum yang menyimpan banyak benda-benda bersejarah.

Beberapa benda bersejarah yang dapat disaksikan oleh pengunjung yang datang antara lain adalah sebuah tugu prasasti yang terbuat dari kayu ulin bertuliskan huruf Arab-Melayu dan dua buah tugu yang ditulisi dengan aksara asli suku Bugis yang terletak di halaman depan keraton. Koleksi lain yang cukup unik adalah adanya buaya sepanjang 4 meter yang telah diawetkan dan dipajang dalam kotak kaca di bagian luar keraton. Keraton yang memiliki ciri khas desain bangunan China ini memiliki 12 kamar dan 1 ruang utama di bagian tengah.

Ruang utama di keraton ini biasanya dipakai untuk menggelar pertemuan-pertemuan adat dan pertemuan lainnya, juga sebagai tempat penobatan atau pemberian gelar bangsawan pada keturunan Sultan Sambaliung. Keraton ini juga memiliki 4 buah taman, yang ketiga diantaranya berada di bagian depan. Di bagian depan juga terdapat gapura yang dihiasi lambang keraton Sambaliung diatasnya.

Keraton yang konon pernah diserang dan dicoba untuk dihancurkan pada masa pendudukan Jepang dan Belanda ini masih berdiri kokoh di tepi sungai Kelay.


15. Istana Tanjung Palas, Bulungan, Kalimantan Timur

Kesultanan Bulungan atau Bulongan adalah kesultanan yang pernah menguasai wilayah pesisir Kabupaten Bulungan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kota Tarakan sekarang. Kesultanan ini berdiri pada tahun 1731, dengan raja pertama bernama Wira Amir gelar Amiril Mukminin dan Raja Kesultanan Bulungan yang terakhir atau ke-13 adalah Datuk Tiras gelar Sultan Maulana Muhammad Djalalluddin. Negeri Bulungan bekas daerah milik “negara Berau” yang telah memisahkan diri sehingga dalam perjanjian Kesultanan Banjar dengan VOC-Belanda dianggap sebagai bagian dari “Negara Berau” (Berau bekas vazal Banjar).

Setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, wilayah Bulungan menerima status sebagai Wilayah Swapraja Bulungan atau “wilayah otonom” di Republik Indonesia pada tahun 1950, yaitu Daerah Istimewa setingkat kabupaten pada tahun 1955. Sultan terakhir, Jalaluddin, meninggal pada tahun 1958. Kesultanan Bulungan dihapuskan secara sepihak pada tahun 1964 dalam peristiwa berdarah yang dikenal sebagai Tragedi Bultiken (Bulungan, Tidung, dan Kenyah) dan wilayah Kesultanan Bulungan hanya menjadi kabupaten yang sederhana.

Namun sekarang telah dibangun duplikat istana tersebut. Di belakang bangunan istana terdapat bangunan masjid tua dan kuburan Datuk Djalaludin beserta keluarganya.

Blog Post

Related Post

Back to Top

Cari Artikel

Arsip Blog