PASURUAN : Kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh Sholeh (45) warga Desa Winongan Kidul Kecamatan Winongan Kabupaten Pasuruan pada bocah sebut saja MM (13) siswi SDLB Negeri Bandaran lll, masih terkatung-katung. Pihak keluarga yang melaporkan kasusnya ke petugas Unit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak) Polres Kabupaten Pasuruan, tidak diterima. Dengan alasan, pelapornya bukan orang tua korban sendiri dengan dibuktikan dengan buku nikah.
Padahal kedua orang tua korban sendiri sudah lama bercerai. Sementara ini, korban tiggal bersama ibu dan ayah tirinya. Namun ketika ayah tirinya menjadi pelapor, petugas PPA juga menolaknya. Upaya terus dilakukan untuk bisanya laporan tersebut diterima petugas. Kali ini korban diantar oleh kakak kandungnya dengan didampingi olehseorang Guru SDLB. Tapi faktanya juga ditolak dengan alasan kakak korban masih dibawah umur.
Memang, kakak korban sendiri masih berumur 16 tahun. Korban sendiri mengalami Tuna Graita Ringan (kelambatan dalam berfikir). Sejak kejadian itu, korban mengalami trauma berat. Tiap kali bertemu dengan lelaki tidak dikenal seakan berontak. Sesuai pengakuan korban kepada orang tuanya, dirinya ditiduri pelaku sudah puluhan kali. Perbuatan pelaku seringkali dilakukan pagi hari saat kakaknya berangkat bekerja. Korban sejak ditinggal mati ibu kandungnya sehari-harinya tinggal bersama dengan kakaknya.
“Bu, Saya sudah tidak punya masa depan lagi wes” tutur MM pada gurunya di saat jam-jam istirahat. Guru kelasnya mengatakan pada awak media, bahwasannya kalimat tersebut sering dilontarkan oleh MM ketika gurunya sedang mendekatinya. Lebih lanjut, masih cerita gurunya, MM kesehariannya hanya tinggal berdua dengan kakak kandungnya di rumah yang begitu memprihatinkan. Ibunya telah lama meninggal dunia. Sedang ayah kandungnya ikut pada isterinya.
Iptu Yamani selaku Pejabat Sementara Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Pjs. Kanit PPA) Sat Reskrim Polres Pasuruan saat dikonfirmasi Media perihal kasus yang menimpa MM, mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Artinya, Yamani mengaku tidak bisa memproses kasunya karena keluarga korban tidak membuat pelaporan secara tertulis.
“Kita tidak bisa meneruskan kasus tersebut lantaran pihak korban atau keluarga korban tidak membuat laporan secara tertulis. Mengapa demikian, karena kasus tersebut bersifat privasi (delik aduan) dan kita tidak mau dianggap mencari-cari. Kalau kita tetap ngotot untuk memproses tanpa adanya surat pelaporan, kan terkesan seolah kita mencari-cari, mas, ” tutur Yamani pada wartawan.
Selang beberapa hari berikutnya, kakak korban yang didampingi oleh gurunya membuat laporan secara tertulis pada Polres Kabupaten Pasuruan. Sungguh mengangetkan pihak keluarga, ternyata Iptu Yamani masih saja berdalih. Yamani kembali tidak menerima laporan keluarga korban. Kali ini Yamani beralasan penolakannya karena usia kakak korban belum dewasa alias dibawah umur. Yang aneh, kakak korban waktu itu sudah didampingi seorang guru korban.
Di tempat terpisah Abd. Qodir Barik Senior PMII (Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia) STAIS Shalahuddin, Kota Pasuruan juga Ketua IKA STAIS Pasuruan sangat menyayangkan sikap Unit PPA. Unit PPA seharusnya pro aktif. Apalagi korbannya adalah anak dibawah umur dengan kondisi tuna graita. Korban sendiri juga anak orang tidak mampu. Kalau memang seperti itu sikap petugas Unit PPA, maka PMII akan mengadukan ke DPRD Kabupaten Pasuruan. “Kami minta kepada dewan untuk memanggil petugas PPA dan memberikan penjelasan gamblang kenapa laporan korban tidak diterima,” tegas Qodir. (pik)
12 Desember 2016