Pasuruan, tribunus.antara - Warga Desa Mendalan Kecamatan Winongan,
mengeluhkan praktik yang dilakukan oleh oknum aparat desa dalam proses
sertifikasi tanah pada progra
proyek nasional agraria (Prona)
2014, Meski dalam peraturan ditetapkan gratis akan tetapi panitia yang
dibentuk pihak desa memungut Rp 900 ribu kepada warga.
Salah seorang warga desa Mendalan
Songko
(44), semua warga yang mendapatkan Prona harus membayar terlebih dahulu
kepada panitia mulanya tiap KK, di tarik 1, juta, lantas warga banyak
yang keberatan ahirnya turun hingga 900rb per KK. Sebagian uang warga
yang sudah melunasi pungutan tersebut lalu ada yang dikembalikan 100rb,
dan bagi warga yang tidak protes tetap satu juta.
Saat
awal dimulainya prona di desa Mendalan warga masyarakat yang tidak
mampu membayar diperbolehkan mengangsur nanti apabila sudah jadi
sertifikatnya. Sebanyak 250 kepala keluarga desa Mendalan pun terdaftar
dalam program prona 2014. Ada yang bayar kontan satu juta, ada yang
belum bayar tapi ada kesapakatan nanti sertifikat hak miliknya menjadi
agunan di BRI cabang pembantu Winongan, perlu diketahui selaku bendahara
panitiya Prona desa Mendalan adalah istri kepala desa Mendalan yang
juga kepala cabang pembantu bank BRI di Winongan. Tak kurang 250 KK dari
7 dusun. Ratusan juta diraup panitya prona dana yang berasal dari
warga.
Sekadar diketahui, berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 10Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional,
masyarakat golongan ekonomi lemah sampai menengah difasilitasi membuat
sertifikat tanah melalui program Prona. Biaya dalam pelaksanaan Prona
ini ditanggung oleh APBN. Program prona adalah gratis dan ditujukan
untuk mengurangi konflik pertanahan di wilayah pedesaan khususnya.
Fakta
di lapangan berbicara lain, banyak warga yang mendapatkan Prona, tetapi
karena tidak mampu namun masih saja ditarik sejumlah uang dengan
alasan kesepakatan bersama. Ketua panitya prona Mendalan Kuswoyo, Ari
(istri kades Mendalan) dan Any sekretaris, serta selaku wakil ketua
adalah Solok yang juga BPD desa setempat. Prona 2014 desa Mendalan
dimulai sekitar bulan Desember 2014. Namun hingga saat ini masih saja
menimbulkan polemik bagi warga desa Mendalan.
Beberapa
warga desa berniat akan melaporkan kasus Prona di desanya kepada aparat
penegak hukum. Sebagian besar warga yang belum juga memperoleh
Sertifikat Hak Milik atas tanahnya masih bingung harus ke mana lagi
untuk bisa mencari keadilan.
"Dulu bilang boleh
diangsur, mas" kata Songko, namun kenapa saya waktu berniat akan
mengangsur ke desa tidak diterima dan disuruh harus membayar langsung
tunai sisa uang satu itu. Saya sudah bersedia untuk mengangsur satu juta
rupiah, tapi sekarang kok tidak boleh. Sampai saat ini sertifikat saya
masih ada di Balai desa" lanjutnya lagi. (gun)
15 September 2015