Pemerintah Myanmar saat ini menganggap masyarakat Rohingya sebagai "pendatang haram" yang tidak jelas asal-usulnya. Sebagai dampaknya, etnis Muslim itu kini harus berjuang keras menghadapi penindasan yang dilakukan etnis mayoritas Burma. Nyawa mereka pun menjadi taruhannya.
Benarkah orang-orang Rohingya adalah kaum pendatang di Rakhine? Pemimpin Rohingya yang juga politikus Partai Pembangunan Uni Nasional di Myanmar, Abu Tahay, memaparkan sejarah keberadaan kelompok etnis tersebut dalam karya tulisnya, "Rohingya Belong to Arakan and Then Burma and So Do Participate."
Di situ disebutkan, sejarah etnis Rohingya bermula ketika masyarakat kuno keturunan Indo-Arya yang menetap di Arakan (Rakhine sekarang--Red) memutuskan untuk memeluk Islam pada abad ke-8. Pada masa-masa selanjutnya, generasi baru mereka kemudian juga mewarisi darah campuran Arab (berlangsung pada 788-801), Persia (700- 1500), Bengali (1400-1736), dan ditambah Mughal (pada abad ke-16).
Catatan sejarah mengungkapkan, syiar Islam mencapai Arakan sebelum 788 Masehi. Dalam dinamika selanjutnya, agama ini mampu menarik hati masyarakat lokal Arakan dan mendorong mereka untuk memeluk Islam secara massal.
Sejak itu, Islam memainkan peranan penting bagi kemajuan peradaban di Arakan. Umat Islam, Buddha, dan Hindu hidup berdampingan selama berabad-abad dalam suasana rukun dan penuh per sahabatan. "Tak hanya itu, mereka (kelompok Muslim, Buddha, dan Hindu) juga memerintah negeri Arakan ber sama-sama," imbuh Abu Tahay.
Dijelaskannya, Pemerintah Arakan pada masa itu pernah mengeluarkan koin dan medali bertuliskan kalimat syahadat dalam bahasa Arab dan aksara Persia. Bahasa Persia ketika itu memang menjadi bahasa kalangan istana sehingga lumrah bagi raja-raja Arakan untuk mengadopsi nama-nama Islam.
Letnan Kolonel Win Maung, yang pernah bekerja di Direktorat Transmigrasi Kementerian Pertahanan Myanmar, pernah menerbitkan buku berjudul The Light of Sasana (Cahaya dari Sasana) pada 1997 lalu. Pada halaman 65 buku itu disebutkan, agama Islam sudah diperkenalkan ke Myanmar sejak 1.000-1.200 tahun silam.
Bukan produk politik
Pada zaman kuno, Negara Bagian Rakhine dikenal dengan nama Rohang. Sementara, orang- orang yang menghuni negeri itu dipanggil dengan sebutan "Rooinga" atau "Rohingya". Dengan demikian, Rohingya adalah kelompok etnik yang muncul melalui peristiwa sejarah yang panjang. Mereka bukanlah pro duk politik yang tiba-tiba muncul ketika Inggris menancapkan kekuasaan nya di Arakan dan Burma antara 1824-1948.
Peneliti asal Skotlandia, Francis Buchanan, mengungkapkan, kaum Mohammedan (yang secara harfiah berarti `pengikut Muhammad' atau Muslim) telah lama menetap di Arakan.
"Orang-orang itu menyebut diri mereka sebagai Rooinga yang berarti masyarakat pribumi asli Arakan," tulis Buchanan dalam laporannya, "Asiatic Research 5", yang diterbitkan pada 1799.
Sementara, sensus yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris di Burma pada 1826, 1872, 1911, dan 1941 juga menyebutkan, masyarakat Rohingya yang diidentifikasi sebagai Muslim Arakan adalah salah satu ras asli di Burma.
Menurut hasil dokumentasi SIL Internasional (sebuah lembaga bahasa dunia yang memiliki status konsultatif khusus dengan PBB), bahasa Rohingya Myanmar masuk dalam rumpun dialek Indo-Arya. Bahasa ini terdaftar dengan kode "rhg" dalam tabel ISO 639-3.
Meski dialek yang dipertuturkan orang-orang Rohingya berbeda dengan yang diucapkan penduduk Burma di Rakhine sekarang, fakta sejarah mem buktikan bahasa Rohingya mempunyai kesamaan dengan bahasa yang digunakan masyarakat Vesali kuno (antara 327-818).
Di samping itu, hasil kajian Universitas Oxford sepanjang 1935-1942 menyimpulkan, kebudayaan Rohingya sama tuanya dengan usia Monumen Batu Ananda Sandra yang didirikan di Arakan pada abad ke delapan silam.
Semua catatan di atas dapat menjadi gambaran bahwa etnik Muslim Rohingya memiliki akar sejarah yang kuat sebagai salah satu ras pribumi asli di Rakhine yang sekarang menjadi bagian dari wilayah Myanmar. Oleh karena itu, tidak ada pembenaran untuk mencap etnik Rohingya sebagai ras asing hanya karena mereka menganut ajaran Islam dan menggunakan nama-nama Muslim.
Oleh Ahmad Islamy Jamil ed: Nashih Nashrullah
23 November 2016